Cuma Dua Menit, Kok


Aku menatapnya, ragu. Ragu terhadap apa yang akan aku lakukan dan apa yang akan terjadi di detik berikutnya. Semua bergantung pada keputusanku dan apa yang akan aku katakan.

Beberapa atlet lainnya mulai menatapku, mungkin mereka merasa aneh dengan sesuatu yang aku kenakan dan apa yang ingin aku pertahankan. Ini memang bukanlah suatu hal yang lazim didalam lingkungan pergaulanku, yaitu di dojo bela diri. Ya, aku seorang atlet, mmm bukan bukan, mungkin itu berlebihan. Lebih tepatnya aku seorang kenshi, orang yang sedang belajar ilmu bela diri, dan saat ini aku sedang mencoba peruntunganku untuk mengikuti sebuah kejuaraan.

Semua atlet yang minggu depan akan berlaga di kejuaraan sedang mengadakan rapat untuk membahas apa-apa yang perlu dibahas. Ada beberapa atlet yang harus diet agar turun kelas pertandingan, ada pula yang harus menaikan berat badannya agar naik kelas pertandingan, ada pula yang harus memeriksakan cideranya untuk memastikan ketika kejuaraan dirinya akan baik-baik saja dan adapula yang harus menghadapi dua pilihan. Ya benar, penjabaran yang terakhir adalah aku!

“ya lepas ajalah kaos kakinya, kamu besok main di arena cuma dua menit, kok. Nanti habis randori (fight one by one), kaos kakinya kamu pakai lagi kan bisa” ucap manager kejuaraan dengan sedikit kesal, aku menoleh menatapnya yang sedang berbicara, sebagai rasa hormatku, lalu aku menunduk.

“Evita lihat sendiri juga kan, kemarin waktu kamu geri (nendang) ke do (pelindung tubuh bagian atas), do nya bunyi keras. Sekarang kamu pakai kaos kaki, tendanganmu ga bunyi” lanjutnya masih dengan nada yang benar-benar tidak mengenakkan. Sedangkan aku masih menunduk dengan pikiran yang mulai berkecamuk.

“Evita harus tau juga kalo kaos kakimu itu nanti di arena bukan sebatas kaos kaki lagi, tapi udah berubah fungsinya jadi pelindung kaki” ia melanjutkan dengan nada yang mulai menghalus, mungkin ia merasa bersalah karna memojokkanku, mungkin. Ah, tak ada hak bagiku untuk menghakimi apa yang terlintas dalam hati si pemilik suara itu. Untuk sesuatu yang tak terlihat, lebih baik kita berkhusnudzan. Itu prinsip.

“toh agama islam adalah agama yang toleran, iya kan Evita? Coba tanyakan dulu, siapa tau ada kompensasi untuk masalah ini. Jangan langsung pakai ucapan pokoknya ngga mau lepas kaos kaki” ucapnya sembari menirukan ucapanku beberapa menit yang lalu.

Aku yang tadinya keukeh tidak ingin melepas kaos kakiku mulai bimbang dengan situasi dihadapanku. Tentu saja, ucapan senpaiku ada benarnya, dan separuh diri ini-pun membenarkannya. Aku menghela nafas dalam hingga rasanya dadaku menggembung. Entahlah, ku rasa jika aku tak menghela nafas sedalam itu, udara yang aku hirup tak akan sampai kepada paru-paruku diujung dalam sana.

Scene demi scene dalam satu bulan belakangan mulai ditampilkan ulang, ooh perjuanganku. Aku harus melewati lembah dan menaiki gunung, eh, bukan. Aku harus melewati latihan pagi sebelum kuliah dengan mata yang masih mengantuk, lalu dilanjut latihan sore setelah kuliah hingga malam hari. Lelah? Tentu saja, jangan kau tanyakan perihal itu. Selain itu, aku juga harus mengurangi porsi makanku demi mempertahankan kelas pertandinganku, menjauhi nasi padang –yang penuh lemak- yang begitu sangat aku gemari, hingga tanpanya, lidah ini terasa sangat hampa. Ah iya! juga hal bodoh pagi itu yang tak akan pernah ku lupa.

                                                                        ***

Pagi itu aku harus mengikuti Ujian Kenaikan Tingkat (UKT) demi memenuhi syarat administrasi kejuaraan tersebut. Aku benar-benar belajar pada malam harinya ditengah tugas perkuliahan yang menumpuk. Mengahafalkan teori mengenai dunia per-kempo-an, mengahafal dan mempraktekan waza dan mempersiapkan persiapan lainnya.

“Evita ngga papa kalo di lepas?” tanyanya sopan. Aku hanya mengangguk, tanda bahwa aku tak apa-apa, aku tak keberatan dengan apa yang akan aku lakukan.

Aku menatap kaos kakiku sejenak sebelum benar benar melepasnya. Ah tak apa, pikirku. Toh kaos kaki bukan-lah hal yang memiliki porsi besar dalam hijrahku. Yang terpenting adalah aku sudah mendeklarasikan di seluruh social mediaku bahwa aku berhijrah, jilbabku juga masih lebar dan panjang, pakaianku masih longgar, aku masih beribadah dan tilawah, pokoknya aku masih dekat dengan Allah, jadi tak apa-apa kan?

Lagian siapa pula yang akan tertarik dengan kakiku? Tak apa, tak apa, ini bukan sesuatu yang besar dan harus dipermasalahkan apalagi di-baper-kan. Aku juga memiliki alasan kok untuk melepasnya, bukan karna dengan sengaja ingin melepasnya.

“Ya, sekarang kalian keliling Graha Saba Pramana tiga kali putaran” ucap pengujiku dengan tegas sementara matanya terus menatapku. Sepertinya ia merasa bersalah dengan keputusan dan apa yang aku lakukan, karna ia-pun memiliki andil –walau sedikit- dalam keputusanku.

Aku terus berlari dan berlari mengitari Graha Saba Pramana yang pagi itu terasa lebih luas, ah tentu saja aku berharap bahwa gedung ini akan menyusut ketika aku mengitarinya. Tapi harapanku sia-sia saja, gedung itu tak kunjung menyusut dan terus saja menguras tenagaku agar terus mengitarinya.

Aku menatap kakiku yang telanjang, rasa menyesal mulai menyusup kedalam hatiku. Ah, sudah, sudah, toh aku sudah melepasnya dan nasi sudah menjadi bubur. Ya sudahlah, tak usah dipikirkan, pikirku. Lalu aku mengalihkan pandanganku ke pepohonan di sekitar gedung yang luas itu, tapi, semua pohon seolah turut berbicara dan menyalahkan keputusanku untuk melepasnya. Bahkan! Ketika aku menatap aqua-aqua yang dijual mahasiswa yang sedang danusan itu, seolah mereka juga menyalahkanku. Sebal. lalu ku coba menatap langit, berharap mendapat pembelaan disana, tapi ia malah mendung dan terlihat marah. Ah! Bahkan langit yang selalu menentramkanku-pun marah kepadaku. Semua menyalahkanku, menyalahkan keputusan bodohku.

Aku memelankan ayunan kakiku hingga pelan sekali, mataku mulai terasa panas dan ketika itu pula langkah kakiku terhenti. Aku berjongkok seraya menutup wajahku dan mulai menangis. Aku melakukan hal yang salah, pikirku. Aku sangat menyesalinya.

                                                                        ***

“Evita?” suara itu memecahkan lamunanku. Ternyata, aku masih menunduk, hanya saja yang membuat berbeda dari keadaan sebelumnya adalah keadaanku yang saat ini menangis. Mataku memang terasa sangat panas tapi aku tak menyadari air mataku telah mengalir dengan begitu derasnya.

“Maaf, aku bukan yang dulu lagi” kata-kata itu meluncur begitu saja setelah keheningan yang cukup lama, entah apa yang membuat kata-kata itu meluncur dengan lancarnya dari mulutku. “Maksudku, aku ndak mau lepas kaos kaki lagi. Aku ndak mau melakukan kesalahan yang sama lagi” lanjutku menambahkan. Semua terdiam, hening.

                                                                        ***

Aku menatap teman-teman atlet se-per-dojo-an-ku satu persatu, ah ternyata mereka sama tegangnya denganku. Lalu aku mengitarkan pandanganku menuju tribun yang telah ramai dipenuhi para atlet dan penonton. Aku tersenyum, tersenyum tanpa alasan, pokoknya aku hanya ingin tersenyum saja. Berharap dengan senyum itu, Allah akan memberikanku kekuatan hingga pertandinganku usai.

Namaku telah dipanggil untuk mewakili universitasku dan saat ini aku sedang memasang pelindung pada tubuhku. Sepasang gloves di pasangkan ditanganku lalu diikatnya dengan kuat, sebuah do dipasangkan ke tubuh bagian atasku, dan tak lupa sebuah head protector dipasangkan di kepalaku. Lalu aku menatap kakiku sejenak. Oke, kita akan lakukan sekarang, kaos kakiku, ucapku dalam hati. Apapun yang terjadi aku akan tetap memperjuangkanmu.

Tubuhku sudah memasuki arena yang berwarna merah dan biru itu. Beberapa wasit yang bertugas menjadi juri dipertandinganku mulai menatapku, tepat pada kakiku. Aku mulai membaca ayat kursi. Entah mengapa aku membacanya, tapi ayat itulah yang terus berulang-ulang dalam benakku. Aku benar-benar berharap mereka tak mempermasalahkan yang satu ini. Ya Allah, aku benar benar ingin bertanding!

Suara kiai (teriakkan) atlet yang sedang bertanding mulai menggema dan bercampur dengan teriakkan dari para penonton. Suara pukulan dan tendangan-pun terdengar dengan syahdunya. Ya! aku diizinkan bertanding tanpa syarat apapun dan aku hampir tak mempercayainya. Ini-lah kuasa Allah untuk hamba-hamba-Nya yang bersabar dan memprioritaskan diri-Nya. Allahu Akbar, Allah Maha Besar.

Aku mulai menendang, tapi meleset. Lalu memukul dengan segala upaya yang aku bisa. Sebisaku. Bodo amat untuk hasil pertandingan, yang terpenting saat ini adalah aku harus melakukan yang terbaik. Menang atau kalah bukanlah hal yang prioritas bagiku. Ketika aku memasuki arena bertanding dan tetap memepertahankan auratku dengan sempurna, sejatinya itulah kemenangan terbesarku.

Aku mendongakkan kepalaku, membiarkan mataku menjangkau satu titik diatas tribun sana, semua tersenyum menatapku. Aku menatap kakiku sejenak sebelum benar-benar melangkahkannya untuk naik ketas podium, ah, rencana Allah memang luar biasa. Rasa haru, tentu saja, mulai menyesap dan meracuni seluruh anggota tubuhku.

Aku persilahkan tanganku untuk menggapai thropy pertamaku. Kau lihat? Aku memenangkan pertandinganku dengan satu pukulan dan juga kaos kaki yang tetap bertengger cantik pada kakiku! Lagi-lagi takbir menggema dalam jiwaku. Bergetar haru dan air mataku mulai meleleh. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Maha Besar.

Tentang hijrah, banyak pendapat tentangnya. Ada yang beranggapan bahwa hijrah adalah melebarkan kerudung dan melonggarkan pakaiannya, ada pula yang beranggapan bahwa hijrah adalah memanjangkan jenggot dan atau hal-hal lainnya, ada pula yang menganggap bahwa hijrah adalah meninggalkan masa lalunya dan menjadikan dirinya lebih baik dari itu. Tetapi sungguh, sejatinya hijrah juga tentang sebuah skala proritas. Bagaimana kita memanage hati kita, akhlak kita, keputusan kita untuk memprioritaskan Allah diatas segalanya. Iya, segalanya J

EPILOG : Aku menatap para atlet dan teman-teman dojoku yang sedang sibuk berfoto dari atas tribun. Aku tersenyum, lalu ku alihkan pandanganku dan mencoba untuk memfokuskan diriku untuk mulai mentaddaburi ayat-ayatnya, sebagai bentuk syukurku atas nikmat-Nya hari ini yang tak terhingga. “Evita, ayo foto. Terus habis ini kita makan” ucap senpai itu sembari melambaikan tangannya. “Makan nasi padang” lanjutnya dengan senyum yang merekah, dan tiga kata itu sungguh berhasil membuatku tersenyum kegirangan.

Comments

Popular Posts